Kamis

Hutan Kali Pesanggrahan

“Benteng Hijau” di Karang Tengah

Keberadaan Hutan Kali Pesanggrahan mengajarkan kita akan manjemen kearifan alam.

Sore itu langit di atas Hutan Kali Pesanggrahan di Lebak Bulus, Jakarta Selatan—tepatnya di daerah Karang Tengah, di belakang perumahan Villa Delima—tampak cerah. Rindangnya pepohonan yang bercumbu dengan hembusan angin menjadikan suasana terasa damai. Udara yang sejuk, lingkungan yang bersih dan asri, sinar matahari yang menerobos masuk dari sela-sela daun dan sesekali terdengar kicau burung yang sayup terdengar.

Ketua Kelompok Tani Lingkungan hidup (KLTH) Sangga Buana Chaerudin mengatakan, Alam ini bukan warisan nenek moyang tapi titipan anak cucu”. Bersama 80 orang temannya, ia menggarap lahan di tepi sungai Pesanggrahan hingga menjadi rindang seperti sekarang. Dan, kalau ditanya berapa luas lahan kawasan tersebut ke Chaerudin, dia menjawab, “saya tidak tahu luas yang pasti, pokoknya cukup luas deh.”

Berkat kegigihan Kelompok Tani Lingkungan hidup (KLTH) Sangga Buana dalam melestarikan Hutan Kali Pesanggrahan, beberapa penghargaan pernah disabetnya seperti, Kalpataru (tahun 2000), penghargaan International Dubai untuk kategori Best Practise (tahun 2002).

60.000 Pohon
Sejarah Hutan Kali Pesanggrahan berawal ditahun 1990-an, Chaerudin mulai menanam berbagai macam pohon di bantaran Sungai Pesanggrahan. Hingga sekarang terdapat 60 ribu pohon yang dibagi berdasarkan kategori. Yang ditanam bukan sembarang pohon, melainkan pohon yang mampu menghidupi atau memberikan nilai ekonomi bagi masyarakat.

Oleh karena itu, di tempat ini bisa dijumpai beragam tanaman buah-buahan dan obat-obatan. Beberapa di antaranya bahkan tanaman yang tergolong langka seperti pohon kecapi, gondangdia, dan buni.“Ada juga binatang seperti monyet, ular, berang-berang, bahkan buaya. Itu pertanda binatang-binatang itu menemukan habitatnya.

Dan, Orang dari berbagai sudut juga datang memberikan atensi atau untuk belajar tentang alam dan lingkungan. “Adik-adik mahasiswa sering datang kemari. Banyak juga mereka dari Kemang, Kebayoran, dan luar negeri, untuk menanam pohon, membersihkan sampah. Chaerudin menyebutnya belajar dengan manajemen kearifan alam.” Terangnya.

Dengan bertelanjang kaki, kita bisa merasakan gemburnya tanah menyentuh telapak kaki. Atau menyusuri hutan di atas jalur tracking. Senyum ramah penduduk dan orang yang menggarap lahan, anak-anak yang bermain dengan riang empang, atau kecipak air ketika mereka mengejar ikan di sungai kecil menjadi pemandangan yang bakal ditemui—sesuatu yang mungkin telah menjadi langka di Jakarta.
Memang sudah sepatutnya kita merasa peduli dengan kelestarian hutan. Karena hutan adalah warisan anak cucu kita di masa mendatang.